Kamis, 06 Oktober 2011

Pengalamanku: Mas Faiz

Mas Faiz

Malam itu hujan turun di Bandung. Aku masih sibuk membuat laporan kegiatan Pekan Muharram kemarin. Karena komputerku rusak jadi aku mau tak mau harus bermalam di sekretariat rohis. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat pintu sekre dibuka oleh seseorang. Sesosok tubuh agak basah di pundak nampak di ambang pintu.
"Eh, ki. Lembur?" Tanya ikhwan tinggi besar itu.
"Ya nih Mas Faiz. Bikin laporan acara kemarin." Mas Faiz, ketua bidang humas di rohis kampusku itu masih sibuk membereskan rambutnya yang basah berantakan.
Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi itu beda dua tahun denganku. Ia baru saja diangkat jadi Ketua bidang.
"Oh, ngomong-ngomong afwan ana numpang neduh ya akh. Baru pulang dari warnet eh malah kehujanan waktu mau ke kostan," jawabnya sambil membuka kemeja kotak-kotaknya sehingga ia hanya mengenakan kaos oblong putih yang agak kecil dan pas dengan badannya.Kemudian ia melangkah menuju lemari penyimpanan alat-alat sholat inventaris sekre.
"Ya gak apa-apa. enak malah ada yang nemenin," jawabku sambil tetap memperhatikan lelaki berjanggut tipis itu dari sudut mataku. Ia mengambil sarung dari lemari kemudian pergi ke luar, kurasa ke toilet. Tak lama kemudian ia kembali lagi sudah memakai sarung dan menjinjing celananya yang basah. Lantas ia mengambil sajadah dan sholat Isya.
Kiblat tepat searah denganku menghadap. Sehingga dari belakang aku bisa melihat jelas postur Kakak tingkatku itu. Tubuhnya well-built karena aktif berlatih karate. Kebetulan sarung yang dikenakan Mas Faiz berwarna putih. Jadi ketika ia sedang rukuk atau sujud dapat kupastikan dibalik sarungnya itu ia hanya mengenakan celana dalam saja. Kulihat jelas dari garis yang dibentuk oleh tepian celana dalamnya. Yang juga menunjukkan begitu besar pantatnya itu.
Ah, jujur sejak aku pertama melihatnya aku langsung 'suka' padanya. Walaupun aku tahu ini aneh. Kukira rasa suka itu hanya sebatas rasa kagum saja karena melihatnya begitu hebat mengisi sebuah acara di fakultas. Wibawa dan pembawaannya yang tegas namun tetap sopan. Tapi lama-kelamaan rasa sukaku itu berubah menjadi lebih dari itu. Semuanya berawal dari mimpiku waktu lalu. Aku bermimpi bersetubuh dengannya hingga ketika aku bangun kudapatkan celanaku basah oleh air mani. Mimpi itu selalu membayangiku dan semakin jelas saat Mas Faiz benar-benar ada di depanku.
"Masih lama Ki?" Suara bariton Mas Faiz menyadarkanku.
"Masih kayaknya mau sekalian nginep di sini. Lagipula besok enggak ada kuliah pagi," jawabku sambil menatap wajah teduh Mas Faiz. Alis tebalnya semakin membuat tatapan mata itu begitu tajam namun lembut. Rahangnya yang tegas dihiasi jenggotnya yang tipis. Bibirnya tipis dan merah muda, kurasa karena terjaga dari rokok dan minuman keras.
"Oh bagus, sekalian ana juga mau numpang nginep di sini. Kayaknya hujan masih lama redanya," ujarnya sambil menepuk pundakku.
"Denger-denger Mas Faiz mau nikah ya?" Kulihat sekilas wajah Mas Faiz kaget. "Beritanya udah nyebar lho Mas. Mas Faiz kemarin habis dari Cirebon karena baru khitbah-an kan ya?"
"Wah udah nyebar ya?" Mas Faiz tersenyum yang otomatis memamerkan lesung pipitnya. "Ya nih insha Allah, minta do'anya aja semoga dilancarkan."
"Amiin. Wah ngomong-ngomong banyak yang bakal patah hati nih," ujarku sambil terus mengetik.
"Ah bisa aja," ada semu merah muncul di pipinya. "Ana tidur duluan ya. Capek, tadi di jalan enggak sempet tidur." Mas Faiz melangkah kembali ke tempatnya sholat tadi lalu berbaring di atas sajadah yang ia pakai saat sholat. Tanpa sajadah pun tempat itu sudah hangat karena sudah dilapisi karpet tebal. 
Aku melanjutkan mengetik laporan hingga jari-jariku terhenti karena mendengar sesuatu.
"Ah...," tiba-tiba Mas Faiz mendesah pelan. Matanya masih terpejam. Kurasa ia mengigau."Dik Sri, ayo Dik..." Ah ia sedang mengigau tentang calon istrinya. Mbak Sri Puspita, pasti ketua bidang keputrian itu yang barusan dipanggil Dik Sri oleh Mas Faiz. Kabarnya memang kakak tingkatku itu yang dilamar Mas Faiz.
Kini perhatianku tertuju kepada sesuatu yang lain. Sarung Mas Faiz tersingkap saat ia menggaruk pahanya dan kulihat rambut halus tumbuh lebat di betisnya yang putih. Jantungku berdegup kencang saat sarungnya kembali tersingkap lebih atas dan memperlihatkan pahanya yang tak kalah putih dan tak kalah rimbun dengan rambut-rambut halus.
Perlahan aku melangkah mencari sudut yang tepat sehingga aku bisa melihat celana dalamnya. Selama beberapa menit posisi kaki Mas Faiz yang terbuka memberikanku kesempatan melihat daerah yang sulit biasanya kulihat. Tentu saja, ia sangat menjaga auratnya. Bahkan melihatnya telanjang dada atau pakai celana pendek saja tidak mungkin.
Mas Faiz meluruskan kakinya kembali. Ada sedikit rasa kecewa namun rasa kecewa itu sirna ketika kumelihat tonjolan di daerah kemaluannya. Rupanya ia sedang bermimpi indah bersama Dik Sri-nya. Ah kukira ia tidak akan berpikir macam-macam seperti itu tapi ternyata....
"Ah..," Mas Faiz kembali mendesah dan tonjolan kontolnya semakin membesar.
Aku semakin mendekati Mas Faiz. Kaosnya tersingkap dan kulihat bulu-bulu halus menghitam dari pusarnya menuju perutnya yang putih dan six pack.
Khawatir tak mendapat kesempatan ke dua, kuraih handphone ku lalu ku ambil gambar Mas Faiz dengan pose luar biasanya itu. 
Meski gemetaran kuberanikan diri menggerakan tanganku mencoba meraba paha Mas Faiz. Kurasakan pahanya yang keras dan hangat. Pahanya begitu massive karena terlatih. Kuusap-usap perlahan dan tonjolan kontolnya semakin besar. Kusingkap sarungnya sehingga dapat kulihat semakin jelas tonjolan kontolnya itu terbelenggu oleh celana dalam putihnya, mendesak untuk keluar. Tak lupa, kembali kuambil gambarnya.
Rambut-rambut halus memenuhi pahanya yang putih dan semakin menghitam di tepian celana dalamnya. Kuraba kontolnya dan ... ah begitu besar, keras, dan hangat... Ah Mas Faiz, maafkan aku. Bukannya aku lancang tapi aku tak bisa menahan diri.
"Ah..," Mas Faiz mendesah begitu kuusap kontolnya yang semakin menegang dan tentu semakin keras dan hangat kurasakan. Tak lama setelah itu kurasakan ada cairan lengket dan basah yang menempel di ujung jariku, precum. Kurasa mimpinya begitu dahsyat. Kakak tingkatku ini sepertinya sudah tidak sabar untuk menikahi Teh Sri dan merasakan nikmatnya malam pertama. Namun begitu tahu ukuran dan bentuk kontol Mas Faiz seperti itu aku jadi kasihan sama Mbak Sri. Gadis pendiam itu pasti akan merasa kesakitan yang luar biasa saat kontol Mas Faiz-nya masuk menembus selaput keperawanannya. 
Kuraba pula putingnya yang menonjol kehitaman dibalik kaos tipisnya. Namun itu pun tak lama karena ia menelungkupkan badannya. Kini kubisa melihat bokongnya yang besar dan semok. Membongkah membuat belahan yang nyata di balik celana dalamnya. Kuusap-usap dan karena tak ada respon maka kucoba meremas-remasnya. Ragu, kuhentikan gerakanku.
Seteah beberapa kali ku ambil foto Mas Faiz aku berniat kembali duduk di belakang komputer. Namun, saat kuberanjak hendak kembali ke belakang komputer tiba-tiba kudengar Mas Faiz memanggilku.
"Riki,," Aku lantas membalikan badan dan dengan rasa bersalah bercampur malu aku menghampiri Mas Faiz dan meminta maaf.
"Mas afwan, saya tadi khilaf..." tanpa diduga tiba-tiba Mas Faiz memelukku dan menindihku. "Mas Faiz?"
"Tidak apa-apa Ki. Mas Faiz paham dengan apa yang Riki rasakan. Mas Faiz juga pernah merasakan rasa yang sama pada Kang Rijal." Mas Faiz menyebut mantan ketua rohisku yang sekaligus tetangga kostanku. "Tapi Mas Faiz tidak seberani kamu dan tidak seberuntung kamu." Tatapannya yang tajam seperti meyakinkanku bahwa segalanya baik-baik saja.
"Kau mau ini, Ki? Mas Faiz mengenggam tanganku dan mengarahkan pada kontolnya yang tegang. Aku kaget. 'Gak usah malu, Ki. Ayo, jangan malu-malu. Kamu pasti pingin memegangnya lagi kan?"
Aku menatap mata elang itu yang berubah menjadi begitu teduh. "Mas?" Aku mayakinkan dan ia menjawabnya dengan sebuah anggukan dan..kecupan tepat di bibirku. Karena kaget aku hanya diam saja.
"Koq malah bengong?" Kemudian ia mengecup bibirku dan tanpa ragu kubalas kecupan itu dengan lumatan dan hisapan. Bibirnya yang tipis sempurna ku kecup. Lantas bibirku pindah ke janggut tipisnya, telinganya, dan lehernya yang membuat Mas Faiz mendesah.
Mendengar desahan Mas Faiz aku semakin semangat. Ku turun mengecupi putingnya dari balik kaos putihnya, semakin turun dan tepat di depan mataku kontol Mas Faiz menonjol. Ku tatap wajah Mas Faiz dan ia membalas dengan anggukan dan senyuman tanggungnya yang hangat.
Mas Faiz...
Kukecupi kontolnya yang semakin mengeras itu. Karena tak tega melihat kontol besarnya ingin bebas keluar dari celana dalam ketat Mas Faiz, kubuka celana dalam Mas Faiz dan...
Sebilah kontol besar dengan ujungnya yang mirip kuncup jamur menunjuk lurus tepat di depan hidungku. Aroma khas langsung menyapa hidungku. Ternyata kontol Mas Faiz lebih besar dari yang kubayangkan. Lebih panjang, besar, keras, dan ternyata hanya sedikit rambut saja yang tumbuh di sana. Kupikir Mas Faiz rajin mencukuri rambut di daerah kemaluan dan ketiaknya sesuai dengan sunnah kanjeng Rasul.
Tanpa menunggu persetujuan Mas Faiz langsung saja kulumat kontol dan buah jakarnya yang menggantung besar sekali itu. Otot bawah Mas Faiz, termasuk pantat dan pahanya, menegang saat kuhisap ujung kontolnya.
"Ohh..." desah Mas Faiz sambil mencengkram kepalaku seakan tak ingin kontolnya lepas dari jilatan lidahku.   
Sambil kuhisap kontolnya yang semakin membesar--ternyata kontolnya tadi belum sampai pada ukuran maksimalnya, jadi penasaran bisa sebesar apa batang kejantannya ini?--ku remas-remas bongkahan pantatnya yang besar. Jari telunjukku menyelusup di antara bongkahan pantatnya, mencari lubang anusnya. Ah, kudapatkan juga titik itu, hangat dan sempit.
“Ahh, Ki...” kulihat ekspresi wajah Mas Faiz yang tak pernah kulihat sebelumnya. Matanya terpejam dan beberapa kali ia harus mengigit bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak berteriak karena kegelian.
Aku semakin semangat menghisap dan membiarkan kontol besar itu keluar masuk mulutku. Semakin cepat dan seiring dengan desahan nafas Mas Faiz yang memburu dan cengkaraman tangannya. Tiba-tiba seluruh badannya menegang dan cengkraman tangannya semakin kuat.
“Ki!” Mas Faiz setengah berteriak dan saat itu juga kurasakan cairan kental dan hangat muncrat di dalam mulutku. Mas Faiz langsung duduk terkulai dan mungkin karena lemas atau apa ia tersungkur. Aku sempat kasihan melihat Mas Faiz kecapekan seperti itu namun begitu melihat pantatnya yang besar langsung saja kududuk di belakang pantat Mas Faiz.
“Ki, mau apa lagi kamu Ki?”
Tak kuhiraukan pertanyaan Mas Faiz. Langsung kuremas-remas pantat itu sehingga kubisa melihat lubang anusnya yang kemerahan terjepit di antara bongkahan pantatnya. Kujilati lubang yang hangat itu.
“Ah...Ki,” Mas Faiz mendesah namun kurasa ini desahan kenikmatan.
Setelah beberapa kali kujilati, kumasukan jari tengahku. Mas Faiz sempat mengeluh kesakitan karena lubang anusnya memang masih sempit. Namun lama-kelamaan nampaknya lubangnya itu beradapatasi dengan jari tengahku. Setelah kudiamkan beberapa lama, kumasuk dan keluarkan jari tengahku perlahana-lahan dan Mas Faiz pun mendesah. Setelah kukira lubang itu sudah cukup terbiasa, kubuka resleting celanaku dan kukeluarkan kontolku yang sudah tegang dari tadi.
“Ki!”
Lagi-lagi aku tak menghiraukan Mas Faiz lagipula Mas Faiz tak bisa berbuat apa-apa.
“Ah!” Mas Faiz setengah berteriak saat kontolku sedikit demi sedikit masuk ke lubang anus Mas Faiz yang sempit.
“Maaf Mas, tapi ini salah Mas juga. Tadi Mas yang mulai,” bisikku di telinganya sambil memasuk dan keluarkan kontolku dari lubang anus Mas Faiz yang kini sudah tidak perjaka. Mas Faiz tidak menjawab.
Kuubah posisi tubuh Mas Faiz. Kini kubisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas. Dan selagi kontolku sibuk menyodok lubang anus Mas Faiz kubisa mengecupi selruh tubuh Mas Faiz yang basah oleh keringat dan bercampur dengan aroma parfum non-alkoholnya. Ketika kupegang-pegang kontolnya yang sudah agak mengerut tiba-tiba kontolnya kembali menegang. Ah, sudah lama nampaknya Mas Faiz tidak mimpi basah--karena kupikir Mas Faiz tidak pernah melakukan onani atau masturbasi. Dengan semangat kukocok kontol Mas Faiz dan hampir bebarengan kurasakan kontolku siap untuk menembang. Lantas kutarik kontolku dan kubiarkan cairan spermaku muncrat di atas perut six pack Mas Faiz. Tak lama setelah itu, crat! Cairan putih hangat muncrat di wajahku. Ah Mas Faiz..
Aku kelelahan dan membiarkan tubuhku berbaring lemas di atas tubuh Mas Faiz. Nafas kami sama-sama memburu. Setelah dirasa cukup mengumpulkan tenaga kami membersihkan diri karena hari sudah hampir pagi.
“Kapan-kapan kita nginep lagi di sekre ya?” Tanya Mas Faiz sambil tersenyum saat kami sampai di depan kostan ku.
Aku mengangguk, "ya, dan mungkin enggak cuma berdua." Mas Faiz nampak bingung. "Kang Rijal pasti seneng kalau di ajak juga." Mas Faiz makin bingung tapi kubiarkan saja ia berdiri dengan wajah bingung sedangkan aku masuk ke dalam kostanku.


Keterangan:
Ana: Saya
Antum: Kamu
Akhi/Akh: Panggilan persaudaraan untuk laki-laki
Afwan: Maaf
Khitbah: Melamar
Ikhwan: Lelaki

Pengalamanku: Kang Rijal

Kang Rijal

Kertas-kertas bertebaran di lantai kamarku, pun dengan pensil dan penggaris. Hal yang biasa jika aku sedang mengerjakan tugas menggambar teknik. Sebagai  mahasiswa arsitektur tugas menggambar seperti ini sudah biasa, namun tetap saja merepotkan. Saat baru saja ku selesaikan gambar untuk tapak bawah, pintu kamarku diketuk.
"Assalamu'alaikum!"
Saat kubuka pintu tampak Kang Rijal, tetangga samping kamarku, berdiri di depanku dengan mengenakan kaos oblong hijau army dan sarung. "Wa'alaikumussalam. Eh, Kang Rijal."
"Afwan ganggu, ana boleh pinjem flash disk gak? Yang punya ana lagi trouble, kayaknya kena virus."
"Oh ya boleh, masuk dulu Kang. Maaf berantakan lagi ngerjain tugas," ucapku sambil menuju meja belajar di pojok kamar. Kang Rijal mengikuti dari belakang dan duduk di kasur.
"Wah ganggu dong ya, lagi sibuk." Ujarnya sambil memperhatikan, menyapu isi kamarku.
"Ah enggak koq, biasa aja," jawabku sambil menyerahkan flash disk hitamku.
"Dipinjem dulu ya, syukran! Wassalam'alaikum." Kang Rijal beranjak keluar setelah menepuk pundakku.
"Wa'alaikumussalam." Langsung saja kulanjutkan tugas menggambarku. Namun tak lama karena konsentarsiku agak terganggu. Kedatangan Kang Rijal tadi lah yang mengganggu konsentrasiku.
Kang Rijal adalah mantan ketua rohis di kampusku yang kini sedang melanjutan S2, masih di kampusku. Sambil kuliah beliau bekerja di sebuah biro iklan ternama di kota ini sebagai graphic desainer sesuai dengan jurusan yang dulu diamblinya. Lelaki asal Garut ini memiliki perawakan yang atletis karena ia juga aktif di klub boxing. Dan yang mengganggu konsentrasiku adalah karena perasaanku. Aku suka pada lelaki berwajah ganteng itu. Aku sengaja pindah kostan ke sini agar  bisa dekat dengan beliau dan sering melihatnya. Awalnya aku berharap, jika dikostan aku bisa melihat tubuh maskulin yang selalu tersembunyi di balik pakaiannya yang rapih. Tapi ternyata tidak, beliau sangat menjaga auratnya. Tadinya ya minimal aku bisa melihat dada dan perutnya yang bidang. Walaupun pernah tapi itupun sekali dan tidak sengaja. Saat itu beliau hendak mandi dan membuka kaosnya di kamar mandi, mungkin beliau lupa menutup pintunya dan kebetulan aku lewat dan melihat sepintas dadanya yang bidang dan berbulu halus. Meskipun selintas tapi aku masih bisa mengingatnya dengan jelas, tentu saja ini barang mahal!
Dan tadi, saat lelaki macho itu duduk di kasurku sambil menungguku mengambil flash disk, aku melihat sekilas sarungnya tersingkap. Dan tentu saja bisa ditebak apa yang aku lihat selanjutnya? Meski agak gelap tapi aku bisa melihat tonjolan kontol di balik celana dalamnya. Entah apa yang beliau pikirkan saat itu, tapi yang pasti aku bisa memastikan kontolnya sedang tegang. Tapi itu hanya sebentar karena sepertinya beliau sadar kalau sarungnya tersingkap. Ah, jadi bikin penasaran saja! Yang sedikit-sedikit memang berhasil membuat penasaran. Aduh gawat, jadi pingin mandi janabat nih! He...
***
Brug! Kulempar tasku dan kurebahkan badanku ke atas kasur. Siang ini sangat panas makanya aku ingin cepat-cepat sampai di kostan yang adem. Tapi harapanku untuk tidur siang nampaknya harus kuhapus segera karena proposal kegiatan muharram rohis belum beres ku kerjakan. Padahal nanti sore harus sudah diserahkan ke Kang Andri, ketua panitia. Yah, namanya juga aktivis. Ciee aktivis.
Setelah minum segelas air kunyalakan komputerku dan kuraih flash disk yang baru saja dikembalikan Kang Rijal tadi pagi. Saat ku explore flash disk-ku aku tertarik dengan sebuah folder bernama "Rijal Titip". Nampaknya punya Kang Rijal semalam belum sempat dipindahkan. Karena penasaran apa saja isi foldernya kubuka saja folder itu. Ada beberapa file berkenaan dengan dunia desain grafis, mungkin untuk tugas kuliahnya. Namun yang membuat penasaran ada sub folder yang bikin penasaran karena namanya "Ssstt" seperti sesuatu yang rahasia. dan begitu kubuka ada beberapa file berbentuk 3gp dan flv. Saat kubuka salah satu file tadi aku benar-benar kaget. Video berdurasi 10 menit yang berisi adegan hubungan sejenis, laki-laki denagn laki-laki! Begitu kubuka file lainnya ternyata isinya sama saja meskipun beda pemeran dan adegan tapi intinya sama: video gay!
Masa sih ini punya Kang Rijal? Tapi kalau bukan punya beliau kenapa ada di dalam folder-nya? Demi melihat jam yang terus bergerak ke arah jam empat aku melupakan dulu temuan dahsyat ini dan mengerjakan proposal kegiatanku.
Saat rapat tadi aku benar-benar tidak bisa fokus. Pikiranku masih tercurah pada video-video yang sementara diduga milik Kang Rijal itu. Apa benar itu milik Kang Rijal. Tapi kalau bukan milik beliau kenapa ada di foldernya. Tapi, masa sih orang seperti beliau suka nonoton video gituan? Tapi kalau memang benar itu milik Kang Rijal berarti beliau itu seorang GAY! Benarkah?!
"Hey, jangan ngelamun sambil jalan dong akh!" suara orang yang amat kukenal mengagetkanku.
Kebetulan! Pikirku.
"Eh Kang Rijal, dari mana Kang?" Tanyaku sambil diam-diam memperhatikan beliau dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. Sore itu Kang Rijal mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang hitam yang rapih plus jaket dan tas punggungnya.
"Biasalah abis ngerjain tugas bareng," jawabnya sambil merangkul pundakku. "Mau pulang? Bareng yuk!" Aku mengangguk.
Sepanjang jalan aku masih bimbang untuk menanyakan video-video itu atau tidak. Lagipula jika kutanyakan sambil jalan nampaknya kurang bagus. Maka kuputuskan baru akan kutanya saat sudah sampai di kostan.
"Kang Rijal boleh nanya sesuatu gak?" Tanyaku begitu Kang Rijal hendak membuka pintu kamarnya. Ada ekspresi bingung di wajahnya.
"Pake minta izin segala sih? Biasanya juga kalau mau nanya langsung aja kan?" Responnya sambil memutar kunci kamarnya.
"Um, tapi di dalam kamar Kang Rijal aja ya?" Kutangkap ekspresi heran Kang Rijal. "Um, masalah ribadi." Sengaja kupelankan suaraku meskipun tidak ada orang lain di sekitar kami.
"Boleh, boleh, yuk masuk!" Ajaknya. Meski agak ragu aku mengikuti di belakangnya.
Kamar Kang Rijal bisa dibilang sangat rapih untuk ukuran kamar cowok single. Buku-buku tertata rapih di rak buku. Di atas kasur tak ada benda lain kecuali bantal, guling, dan selimut. Benar-benar rapih, persis seperti penampilan kesehariannya meski tidak termasuk ke metroseksual.
"Mau minum apa? Ada teh sama susu." Ujarnya sambil membuka tas ransel dan jaketnya.
Aku menolak halus walaupun sebenernya haus banget sih tapi masa sih  ngerepotin segala. Lagipula au sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenaran pradugaku itu. Jantungku semakin lama semakin berdegup kencang.
"Tadi katanya mau nanya? Nanya apa? Nyantai aja," ia mengambil segelas air dan mengambil posisi duduk tepat dihadapanku, menatapku lurus. Membuatku semakin dag dig dug. Matanya itu lho Kang....
Kuberanikan untuk membuka mulutku akhirnya,"Em, kemarin lusa Kang Rijal pinjem flash disk ana ya?" kang Rijal mengangguk tanpa beban. "Eh, kalo folder 'Rijal Titip' itu punya Akang ya?" Beliau mengangguk lagi namun nampak agak ragu. "Termasuk semua file di dalamnya?" Ia tak menjawab tapi malah lantas melongok keluar dan kemudian menutup pintu, dan “klik!” pintu itu pun dikunci.
"Ya, termasuk video-video itu jika kamu memang ingin lebih spesifik ke sana," jawabnya lancar namun dengan nada suara yang berbeda dari biasanya. Ia mendekatiku namun entah kenapa aku tiba-tiba refleks mundur menghindar. Aku seperti ketakutan atau memang benar takut.
"Jangan takut, saya tidak akan macam-macam kalau kamu mau cooperatif," uajarnya sambil terus mendesakku dan berhasil. Badanku tertahan di tembok dan badan Kang Rijal hanya satu jengkal dariku. Bisa kudengar deru nafasnya.
"Jadi, Kang Rijal memang seorang..."
"Gay?" Kang Rijal memotong ucapanku. "Kalau memang benar kenapa? Kalau aku seorang gay memang kenapa?" Tanyanya balik sambil mendorong dadaku dengan tangannya yang kokoh. Aku tak bisa menjawab. Aku memang pernah ingin sedekat ini dengan Kang Rijal tapi situasinya tentu tidak seperti ini.
"Um, saya janji enggak akan cerita soal ini ke siapapun. Tapi tolong jangan sakiti saya," ucapku memohon.
"Bagus," Lelaki tinggi besar itu menarik tangannya dari dadaku.
"Tapi..." tiba-tiba sebuah ide gila datang ke kepalaku.
"Tapi apa?"
Aku kini lebih berani, "tapi Kang Rijal harus menuruti permintaan Riki." Kang Rijal terkejut. Matanya langsung tertuju ke arah flash disk yang kugenggam. "File-file Kang Rijal sudah disimpan di e-mail, dan bisa kapan saja Riki sebarkan." Ucapku mantap dan membuat Kang Rijal semakin kaget.
"Apa maumu?"
Yes berhasil! Ucapku dalam hati. Akhirnya keinginanku bisa tercapai juga, tinggal selangkah lagi.
"Um, Riki pingin kita mempraktikan apa yang ada dalam video Kang Rijal itu."
Suasana hening sejenak. Perlahan raut muka Kang Rijal berubah lebih bersahabat.
"Ternyata antum juga sama," ucapnya sambil tersenyum mendekatiku. Senyumannya itu benar-benar membuatku bergairah.
Ia terus berjalan dan kembali mendesakku ke dinding. Kedua lengan kokohnya menahan tubuhnya tepat di samping telingaku. Kemudian tangan kirinya memegang rahangku dan berpindah mengusap bibirku dan tiba-tiba ia mengecup bibirku dan melumatnya. Ah, bibir Kang Rijal betul-betul hangat. Refleks, kupeluk tubuh kokohnya itu dengan erat dan penuh gairah. Lalu tanganku mulai beraksi membuka kemeja Kang Rijal dan langsung menyerang kedua puting di atas dadanya yang bidang dan berbulu halus. Kang Rijal membalasnya dengan mengecup telinga dan leherku yang membuatku semakin semangat melancarkan seranganku. Kudorong tubuh besarnya itu ke atas kasur. Lelaki itu sempat kaget namun kembali rileks. Aku jongkok di depan kakinya yang mengangkang. Kuraba kontolnya yang menonjol dari balik celana hitamnya. Kuraba, kuusap, kuremas hingga kulihat Kang Rijal menunjukkan ekspresi yang semakin membuatku gemas. Kuloloskan celananya itu dan kulihat tonjolan besar di balik celana dalam hijau army-nya. Kujilat dan kuremas buah jakarnya yang besar seperti telur puyuh. Kang Rijal mendesah pelan. Desahan yang membuatku semakin bernafsu.
Kumasukkan ujung jariku ke dalam lubang anusnya yang terjepit diantara bokong besarnya. Kang Rijal kembali mendesah. Ah, kontolnya semakin menegang dan membesar. Ujung kontolnya yang berwarna pink langsung kujilati tanpa ampun dan batang kontol yang besar itu akhirnya bersarang di mulutku. Semakn lama aku semakin semangat menyedot kontolnya itu sambil menyodok lubang anusnya dengan telunjuk dan jari tengahku. Tak perlu menunggu lama, Kang Rijal menyemprotkan sperma pertamanya untukku, hangat dan kental.
Yummy!
Dan sekarang giliranku. Aku menaiki tubuh Kang Rijal yang nampaknya masih kelelahan setelah menebakan spermanya di mulutku. Tanpa kuperintahkan lelaki berjanggut tipis itu sudah paham dengan apa yang kuinginkan. Ia memasukan kontolku ke dalam mulutnya. Ah, mulutnya benar-benar hangat dan jilatannya...ah!
Tapi tidak, aku tidak berniat menembakan spermaku di dalam mulutnya. Maka ku turun, langsung kubuka dan kuangkat kedua kaki Kang rijal hingga bisa kulihat dengan jelas lubang anusnya yang merah muda.
Tanpa meminta persetujuan kang Rijal aku masukan kontolku ke dalam lubang anus mahasiswa pasca sarjana itu. Kang Rijal mendesah kesakitan di awalnya namun semakin lama nampaknya ia malah menikmati setiap sodokkan yang kulakukan.
"Ah, ayo...terus, enak Ki!"
Seperti diberi angin, aku semakin semangat menyodok kontolku sambil mengocok kontol Kang Rijal yang sudah semi-hard on. Aku belum puas melihat kontolnya untuk menyemburkan cairan sperma di dalam biji pelirnya itu.
"Ah, ah, ah,,"
Akhirnya hampir bersamaan kami berdua menyemburkan sperma masng-masing. Spermaku membasahi setiap ruang di lubang anusnya sedangkan sperma Kang rijal membasahi dada dan perutnya yang bidang. Aku kira semua sudah usai hingga tiba-tiba Kang Rijal menarik badanku dan dengan cekatan membalikan posisi badanku. Kini aku ada di bawah tatapan Kang Rijal dan tubuh tinggi besarnya menindihku.
"Di video yang aku tonton, yang tadi itu belum beres. Masih ada yang kurang," bisiknya di telingaku.
Tangan kokohnya lantas mengangkat kakiku dan langsung menyodok lubang anusku dengan kontol besarnya. Awalanya sulit karena ini kontol pertama yang masuk ke dalam lubang anusku. Apalagi Kang Rijal tidak memasukan jarinya terlebih dahulu sebagai pemanasan agar lubang anusku terbiasa.
Ah, sakit sekali ketika sedikit demi sedikit kontol besar dan hangatnya itu memasuki setiap inci lubang anusku, seperti akan robek. Namun lama-lama aku justru malah merasakan sensasi yang luar biasa enak. Apalagi saat kontol besarnya mulai menyodok keluar-masuk lubang anusku yang perawan.
"Aaaah!" kini giliranku mendesah.
Dan tak lama untuk ketiga kalinya dari kontol Kang rijal muncratlah cairan putih, kental, dan hangat.
Kami berpelukan dengan nafas yang sama-sama terengah. Namun kami harus segera merapihkan diri karena sebentar lagi teman-teman kost yang lain akan pulang.
"Lain kali, kau tak perlu mengancam jika ingin melakukannya lagi. Akang dengan senang hati akan menurutinya." Ia tersenyum, "lagipula masih banyak koleksi video yang belum kamu tonton kan? Kapan-kapan jika tidak keberatan Riki bisa nemenin Kang Rijal nonton, ada Menatplay, Randy Blue, atau yang manapun."
Dan aku membalas pula dengan sebuah senyuman dan kecupan di bibir tipisnya.  
“Mau susu kental?” Tawar Kang Rijal.
Dengan mantap aku mengangguk.





Keterangan:
Ikhwan: lelaki
Ana: saya
Antum: kamu
Akhi: panggilan persaudaraan untuk laki-laki
afwan: maaf